Selasa, 17 Juli 2012

Masjid Agung Jawa Tengah


Masjid Agung Jawa Tengah 

Merupakan salah satu masjid termegah di Indonesia. Masjid dengan arsitektur indah ini mulai dibangun pada 2001 dan rampung pembangunannya pada 2006. Kompleks masjid terdiri dari bangunan utama seluas 7,669 m2 dan halaman seluas 7,500 m2. Masjid Agung Jawa Tengah terletak di jalan Gajah Raya, tepatnya di Desa Sambirejo, Kecamatan Gayamsari, Kota Semarang. Masjid yang mampu menampung jamaah tidak kurang dari 15,000 ini diresmikan oleh Presiden Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono, pada 2006. 

Upacara peresmian ditandai dengan penandatanganan batu prasasti setinggi 3,2 m dan berat 7,8 ton yang terletak di depan masjid. Prasasti terbuat dari batu alam yang berasal dari lereng Gunung Merapi, Jawa Tengah. Selain sebagai tempat ibadah, Masjid Agung Jawa Tengah juga merupakan obyek wisata terpadu pendidikan, religi, pusat pendidikan, dan pusat aktivitas syiar Islam. Dengan berkunjung ke masjid ini, pengunjung dapat melihat keunikan arsitektur masjid yang merupakan perpaduan antara arsitektur Jawa, Roma dan Arab. Arsitektur Jawa terlihat pada beberapa bagian, misalnya pada bagian dasar tiang masjid menggunakan motif batik seperti tumpal, untu walang, kawung, dan parang-parangan. Ciri arsitektur Timur Tengah (Arab) terliat pada dinding masjid yang berhiaskan kaligrafi. Selain itu, di halaman Masjid Agung Jawa Tengah terdapat 6 payung hidrolik raksasa yang dapat membuka dan menutup secara otomatis yang merupakan adopsi arsitektur bangunan Masjid Nabawi yang terdapat di Kota Madinah. Masjid ini juga sedikit dipengaruhi gaya arsitektur Roma. Gaya itu nampak pada desain interior dan lapisan warna yang melekat pada sudut-sudut bangunan. Selain bangunan utama masjid yang luas dan indah, terdapat bangunan pendukung lainnya. Bangunan pendukung itu di antaranya: auditorium di sisi sayap kanan masjid yang dapat menampung kurang lebih 2.000 orang. Auditorium ini biasanya digunakan untuk acara pameran, pernikahan dan kegiatan-kegiatan lainnya. Sayap kiri masjid terdapat perpustakaan dan ruang perkantoran yang disewakan untuk umum. Halaman utama masjid yang terdapat 6 payung hidrolik juga dapat menampung jamaah sebanyak 10,000 orang. 

Keistimewaan lain masjid ini berupa Menara Asmaul Husna (Al Husna Tower) dengan ketinggian 99 m. Menara yang dapat dilihat dari radius 5 km ini terletak di pojok barat daya masjid. Menara tersebut melambangkan kebesaran dan kemahakuasaan Allah. Dipuncak menara dilengkapi teropong pandang. Dari tempat ini pengunjung dapat menikmati udara yang segar sambil melihat indahnya Kota Semarang dan kapal-kapal yang sedang berlalu-lalang di pelabuhan Tanjung Emas. Di masjid ini juga terdapat Al quran raksasa tulisan tangan karya H. Hayatuddin, seorang penulis kaligrafi dari Universitas Sains dan Ilmu Al quran dari Wonosobo, Jawa Tengah. Tak hanya itu, ada juga replika beduk raksasa  yang dibuat oleh para santri Pesantren Alfalah Mangunsari, Jatilawang, Banyumas, Jawa Barat. Di area Masjid Agung Jawa Tengah terdapat berbagai macam fasilitas seperti perpustakaan, auditorium, penginapan, ruang akad nikah, pemandu wisata, museum kebudayaan Islam, cafe muslim, kios-kios cenderamata, buah-buahan, dan lain-lain. Selain itu, terdapat juga berbagai macam sarana hiburan seperti air mancur, arena bermain anak-anak, dan kereta kelinci yang dapat mengantarkan pengunjung berputar mengelilingi kompleks masjid ini. 

Kamis, 23 Februari 2012

Sebuah Nama...

Sebuah Nama... Itu yang seringkali terucap pertama kali bertemu. Nama merupakan identitas, sekaligus semiotik dari si pencipta dan pemrakarsa. 

Ketika nama tersebut dihilangkan atau diubah, identitas tersebut akan sirna. Yang tersisa hanya bentuk dan ingatan dari manusia bahwa dia; itu, dan ini. 

Harapan dan kenyataan itu takkan pernah bisa sama, bahkan nama yang melekat dari orang tersebut pun seakan tak bisa luput dari keadaan apa yang menjadi bagian dalam diri manusia. 

Tuhan itu maha adil, dan Tuhan mengetahui apa yang dibutuhkan oleh manusia; Baik, buruk, kaya, (maaf) miskin, religius, jahat, pintar, bodoh, tampan/cantik, (maaf) jelek, hitam, putih, tinggi, (maaf) pendek, langsing, (maaf) gendut, rajin, malas; semua itu merupakan kenyataan bahwa manusia seperti itu adanya. Dan sebuah nama tidak akan menjadi sebuah patokan bahwa mereka lebih/kurang daripada yang lain. 

Doa, niat, usaha, dan tujuan yang diraihlah, yang merupakan bentuk kenyataan bahwa nama itu berarti dan bermakna melekat dalam orang tersebut ketika bertemu. 

Ya itulah nama, hanya sebuah nama.... 

Selasa, 20 Desember 2011

Sekilas Sejarah Sisingamangaraja


Dari catatan keluarga Raja Sisingamangaraja dalam rangka peringatan 100 tahun perjuangan Raja Sisingamangaraja XII

Raja Si Singamangaraja I - Raja Manghuntal

Raja Si Singamangaraja I adalah anak dari Raja Bonanionan Sinambela, yaitu anak dari Raja Bonanionan Sinambela, yaitu putra ke tiga dan bungsu dari Raja Sinambela. Raja Bonanionan menikah dengan boru Pasaribu. Walaupun mereka sudah lama menikah, tetapi mereka belum mempunyai turunan. Karena itu boru Pasaribu pergi ke “Tombak Sulu-sulu” untuk marpangir (keramas dengan jeruk purut). Setiap kali selesai marpangir, boru Pasaribu berdoa kepada “Ompunta” yang di atas, mohon belas kasihan agar dikaruniai keturunan. Pada suatu hari , datanglah cahaya terbang ke Tombak Sulu-sulu dan hinggap di tempat ketinggian yang dihormati di tempat itu. Yang datang itu memperkenalkan diri, rupanya seperti kilat bercahaya-cahaya dan yang datang itu adalah Ompunta Batara Guru Doli. Ompunta Tuan Batara Guru Doli berkata bahwa boru Pasaribu akan melahirkan anak. Katanya: “Percayalah bahwa engkau akan melahirkan seorang anak dan beri namanya Singamangaraja”. Kalau anakmu itu sudah dewasa, suruh dia mengambil tanda-tanda kerajaan dari Raja Uti, berupa:
1.     Piso gaja Dompak
2.     Pungga Haomasan
3.     Lage Haomasan
4.     Hujur Siringis
5.     Podang Halasan
6.     Tabu-tabu Sitarapullang

Tidak lama kemudian boru Pasaribupun mulai mengandung. Setelah mengandung selama 19 bulan boru Pasaribu melahirkan seorang putera. Sang Putra ini lahir dengan gigi yang telah tumbuh dan lidah yang berbulu. Semasa remajanya Singamangaraja banyak berbuat atau bertingkah yang ganjil terutama pada orang yang tidak pemaaf, yang ingkar janji, melupakan kawan sekampung yang lemah, membebaskan mereka yang tarbeang kalah berjudi. Si Singamangarajapun pernah menunjukkan keheranan orang-orang yang berpesta dimana gondangnya tidak berbunyi dan tanaman padi dan jagung akarnya berbalik keatas mengikuti Si Singamangaraja saat jungkir balik dihariara parjuragatan. Hal ini terjadi karena mereka itu melupakannya. Setelah Singamangaraja meningkat dewasa maka ibunya boru Pasaribu menyampaikan pesan dari Ompunta Batara Guru Doli bahwa Singamangaraja harus mengambil tanda-tanda kerajaan dari Raja Uti. Dia tidak tahu di mana kampung keramat Raja Uti demikian juga ibunya. Dia berangkat dengan berbekal doa yang menunjukkan dan menuntun langkahnya ke tempat keramat tersebut. Dalam perjalanan banyak hambatan demikian juga setiba di keramat kampung Raja Uti yang ternyata ada di daerah Barus. Di sana juga dia dicoba tetapi semua bisa diatasi dengan baik. Sisingamangaraja bertemu dengan Raja Uti dan mereka makan bersama dan katanya: “Sudah benar ini adalah Raja dari orang Batak”. Setelah selesai makan merekapun menanyakan silsilah (martarombo) dan Si Singamangarajapun menyampaikan maksudnya dan disamping itu Sisingamangaraja meminta beberapa ekor gajah. Atas maksud Si Singamangaraja itu, Raja uti mengatakan akan memberikannya seperti pesan yang disampaikan Ompunta itu dengan syarat Si Singamangaraja harus dapat menyerahkan daun lalang selebar daun pisang, burung puyuh berekor dan tali yang terbuat dari pasir. Syarat-syarat yang diminta Raja Uti untuk mendapat tanda-tanda harajaon itu dapat dipenuhi semua oleh Singamangaraja. Sedang mengenai permintaan akan gajah itu, Raja Uti memberikannya asal Si Singamangaraja bisa menangkap sendiri. Si Singamangarajapun memanggil gajah itu maka heranlah Raja Uti melihatnya. Dan setelah itu dibawanya tanda-tanda harajaon itu pulang ke Bakara termasuk gajah itu. Dengan tanda-tanda harajaon itu, jadilah dia menjadi Raja Singamangaraja, singa mangalompoi, Singa naso halompoan. Raja Si Singamangaraja berikutnya Raja Sisingamangaraja I sampai Raja Si Singamangaraja IX tidak diketahui kapan wafatnya dan dimana makamnya. Raja-raja ini setelah mempunyai keturunan dan merasa sudah ada penggantinya pergi merantau dan Piso Gaja Dompak tidak dibawanya. Mereka dipastikan telah wafat adalah melalui tanda-tanda alam yaitu ada cabang dari Hariara Namarmutiha yang patah. Kalau ada cabang Hariara ini yang patah berarti ada anggota keluarga yang meninggal dan kalau cabang utama yang patah berarti Raja Si Singamangaraja telah tiada. Hariara Namarmutiha ini dikenal juga sebagai Hariara Tanda dan sampai sekarang masih tumbuh di Bakara. Biasanya keadaan ini diikuti dengan cuaca musim kemarau, sehingga masyarakat mengharapkan turunnya hujan melalui tonggo-tonggo Raja Sisingamangaraja. Si Onom Ompu (Bakara, Sinambela, Sihite, Simanullang, Marbun dan Simamora) dari Bakara mempersiapkan upacara margondang lalu meminta kesediaan putera Raja Si Singamangaraja untuk mereka gondangi. Dengan memakai pakaian ulos batak Jogia Sopipot dan mengangkat pinggan pasu berisi beras sakti beralaskan ulos Sande Huliman sebagai syarat-syarat martonggo, putera raja inipun dipersilahkan memulai acara. Iapun meminta gondang dan menyampaikan tonggo-tonggo (berdoa) kepada Ompunta yang di atas untuk meminta turunnya hujan, kemudian manortorlah putera raja ini. Pada saat manortor itu langitpun mendung dan akhirnya turun hujan lebat dan masyarakat Si Onom Ompupun menyambutnya dengan kata HORAS HORAS HORAS. Kemudian piso Gaja Dompak pun diserahkan kepadanya dan dicabut/dihunusnya dengan sempurna dari sarangnya serta diangkatnya ke atas sambil manortor. Siapa di antara putera raja itu yang bisa melakukan hal-hal di atas dialah yang menjadi Raja Si Singamangaraja yang berikutnya, jadi tidak harus putera tertua.
Secara berturut-turut yang menjadi Raja Si Singamangaraja berikutnya dan perkiraan tahun pemerintahannya adalah Sebagai berikut:
Ø Singamangaraja II, Ompu Raja Tinaruan
Ø Singamangaraja III, Raja Itubungna.
Ø Singamangaraja IV, Tuan Sorimangaraja.
Ø Singamangaraja V, Raja Pallongos.
Ø Singamangaraja VI, Raja Pangolbuk,
Ø Singamangaraja VII, Ompu Tuan Lumbut,
Ø Singamangaraja VIII, Ompu Sotaronggal
Ø Singamangaraja IX, Ompu Sohalompoan,
Ø Singamangaraja X, Ompu Tuan Na Bolon,
Ø Singamangaraja XI, Ompu Sohahuaon,
Ø Singamangaraja XII, Patuan Bosar, gelar Ompu Pulo Batu,

Raja Si Singamangaraja X - Ompu Tuan Nabolon

Raja Si Singamangaraja X Ompu Tuan Nabolon mangkat karena dipenggal oleh Si Pokki Nangolngolan atau Tuanku Rao, yang dengan akal liciknya mengundang Raja Si Singamangaraja X untuk datang ke Butar. Pada pertemuan di Butar itulah si Pokki memenggal leher Raja Sisingamangaraja X. Kepala Raja ini terbang menghilang, terbang ke pangkuan ibundanya boru Situmorang. Oleh ibunya, secara diam-diam dikuburkannya di dalam batu besar yang ada di Lumban Raja, karena sebelumnya ia sudah berfirasat akan kejadian yang akan menimpa anaknya. Adapun badan Raja Si Singamangaraja X yang terkapar di bukit parhorboan, tertimbun tanah karena tiba-tiba bukit itu runtuh. Raja si Onom Ompu dengan pengikut-pengikut yang mendampingi Raja Si Singamangaraja X pun melawan dan sebagian teman si Pokki itu mangkat. Tetapi karena pasukan si Pokki yang tadinya bersembunyi datang membantu si Pokki dan si Pokki menjadi lebih kuat, melarikan dirilah mereka ke Gunung Imun. Si Pokki terus menyerang Bakara dan banyak yang ditewaskannya baik yang dewasa maupun anak kecil. Menurut pengakuan Pokki Nangolngolan (Tuanku Rao), dia adalah anak dari saudara perempuan Raja Sisingamangaraja X yang pergi ke Bonjol. Pokki Nangolngolan mengatakan bahwa dia sudah rindu pada tulangnya dan dia akan memberinya makan (manulangi) dan akan memberikan piso-piso (uang) sebagai persembahan. Karena kata-kata manis dari si Pokki inilah maka Raja Sisingamangaraja X pergi ke butar. Walaupun pada awalnya Ia mengatakan kenapa si Pokki tidak mendatanginya ke Bakara. Karena tidak mendapatkan jenazah Raja Si Singamangaraja X, Tuanku Rao melanjutkan penyerangan ke Bakara. Banyak penduduk yang dibunuh. Pasukannya membumihanguskan seluruh daerah yang dilaluinya dari Butar ke Bakara termasuk istana Lumban Pande di Bakara. Isteri Raja Si Singamangaraja X yang pertama yaitu boru Situmorang dengan 2 orang anaknya yang masih kecil melarikan diri ke Lintong Harian Boho ke kampung orangtuanya Situmorang. Sedang isterinya yang kedua bermarga boru Nainggolan beserta anaknya Raja Mangalambung diculik si Pokki bersama anak-anak yang lain yang diduganya sebagai anak Raja Si Singamangaraja X. Mereka dibawa ke arah tenggara dalam perjalanan kembali ke Bonjol. Dalam perjalanannya di daerah Tapanuli Selatan sedang terjadi wabah penyakit menular (begu antuk) yang juga mengenai/menyerang pasukan Tuanku Rao sehingga kacau balau. Tawanannya tercecer di Tapanuli Selatan. Sebagian dari yang tercecer ini membuat perkampungan di daerah di Tapanuli Selatan ini.

Raja Si Singamangaraja XI - Ompu Sohahuaon

Belum lagi selesai penderitaan akibat serangan si Pokki terjadi pula musim kemarau yang berkepanjangan. Masyarakat Si Onom Ompu bersepakat menyampaikan hal ini kepada boru Situmorang dan memintanya kembali ke Bakara. Setelah boru Situmorang membawa kedua anaknya kembali, masyarakatpun meminta agar Ompu Sohahuaon mereka gondangi untuk turunnya hujan. Acara margondangpun dipersiapkan dengan baik dan Ompu Sohahuaon yang masih kecil tampil dengan berpakaian ulos Batak. Boru Situmorang dan masyarakat si Onom Ompu kaget dan kagum, karena Ompu Sohahuaon yang masih kecil itu mampu meminta gondang dan mengucapkan tonggo-tonggo untuk turunya hujan. Merekapun mengelu-elukan dengan manortor. Haripun menjadi gelap karena mendung dan hujanpun turun dengan lebat. Ompu Sohahuaon terus manortor sampai berakhir gondang yang dipintanya. Kemudian diserahkan Piso Gaja Dompak kepadanya dan manortor kembali sambil menghunus Piso Gaja Dompak dengan sempurna dan disarungkan kembali. Ompu Sohahuaon dinobatkan menjadi Raja Si Singamangaraja XI dalam usia 10 tahun. Pada masa pemerintahan Raja Si Singamangaraja XI disusun “Pustaha Harajaon (pustaka kerajaan)” archief Bakara yang ditulis dengan dawat/tinta cina diatas kertas Watermark ukuran folio buatan Itali dalam tulisan dan bahasa Batak. Pustaka ini dibuat atas bimbingan dari Ompu Sohahuaon sendiri. Pustaha harajaon ini terdiri atas 24 jilid, setiap jilidnya tebalnya sekitar 5 Cm yang isinya secara secara singkat dapat diuraikan sebagai berikut:
·         Jilid 1 s/d 3: Pemerintahan Tuan Sorimangaraja selama 90 turunan mulai dari Putri Tapi Donda Nauasan.
·         Jilid 4 s/d 7: Pemerintahan kerajaan Singamangaraja SSM I s/d SSM IX.
·         Jilid 8: Perihal Pedang Padri Tuanku Rao terhadap Tuan Nabolon SSM X
·         Jilid 9: Perihal Pongkinangolngolan dan Datu Aman Tagor Simanullang.
·         Jilid 11 s/d 12: Perihal Pendeta Pilgram, pembunuhan atas diri Pendeta Lyman dan Munson oleh Raja Panggalamei.
·         Jilid 13-16: Periode pembangunan kembali ibu kota kerajaan Bakara dan daerah-daerah Toba tahun 1835-1845 atas pembumi hangusan perang bonjol.
·         Jilid 17: Perihal Dr. Junghun, van der Tuuk yang datang menjumpai SSM XI dan perihal photonya.
·         Jilid 18 s/d 24: Penobatan Ompu Sohahuaon menjadi SSM XI, pemerintahannya sampai tahun 1886 dan perihal penyakit menular yang dahsyat di tanah Batak.
Pada tahun 1884 Pustaha Harajaon ini ditemukan dari tumpukan rumah kerajaan yang dibakar oleh tentera Belanda. Dibawa ke Holland oleh Pendeta Pilgrams dan sekarang ada di Museum Perpustakaan Pemerintah Belanda di Leiden, Holland. Pustaha Harajaon tidak diteruskan penulisannya oleh SSM XII sebab tidak ada kesempatan, karena semenjak awal pemerintahannya, Koloni Belanda telah melancarkan agresinya di tanah Batak dan sekitarnya, sehingga Ompu Pulobatu berperang selama 30 tahun sampai tewasnya dalam usia 59 tahun pada 17 juni 1907. Raja Si Singamangaraja XI Ompu Sohahuaon menikah dengan boru Aritonang sebagai isteri pertama yang melahirkan Raja Parlopuk . Isteri kedua adalah boru Situmorang yang melahirkan Patuan Bosar gelar Ompu Pulo Batu. Beda umur Raja Parlopuk dengan Patuan Bosar sangat jauh, ada sekitar 15 tahun. Ketika Ompu Sohahuaon jatuh sakit, maka jalan pemerintahan dilaksanakan oleh Raja Parlopuk. Cukup lama Raja Parlopuk memegang tugas itu dan dilaksanakannya dengan baik. Tahun 1866 Ompu Sohahuaoan meninggal di Bakara dan dibangun makamnya oleh Raja Parlopuk dengan Si Onom Ompu di Lumban Raja. Makam inilah yang pertama ada di Bakara karena SSM I hingga SSM IX tidak diketahui meninggal di mana. Waktu Raja Si Singamangaraja XI meninggal, Patuan Bosar sedang merantau ke Aceh. Makam ini dibongkar oleh Raja Si Singamangaraja XII karena Bakara diserang Belanda. Tulang belulang Raja Si Singamangaraja XI dibawanya ikut berjuang ke hutan, karena tidak ingin tengkorak orang-tuanya diambil oleh Belanda. Semasa perjuangan tulang-belulang ini di titipkan di huta Janji Dolok Sanggul lalu dipindahkan lagi ke Huta Paung. Setelah zaman kemerdekaan, kembali di pindahkan di rumah Soposurung. Kira-kira 105 tahun kemudian, makam ini dibangun kembali oleh keluarga Raja Sisingamangaraja dan pada tahun 1975 tulang belulang Raja Sisingamangaraja XI dan istrerinya dimakamkan kembali ke makam semula di Bakara.
Raja Parlopuk terus melaksanakan pemerintahan Singamangaraja hingga tahun 1871, yaitu setelah dinobatkannya Patuan Bosar sebagai Raja Sisingamangaraja XII.

Raja Si Singamangaraja XII - Patuan Bosar gelar Ompu Pulo Batu
Walaupun Raja Si Singamangaraja XI telah meninggal, Si Onom Ompu tidak merasa ada yang kurang dalam pemerintahan, karena Raja Parlopuk bekerja dengan cukup baik. Tetapi ketika musim kemarau datang dan membawa penderitaan, mulailah si Onom Ompu berfikir untuk adanya acara margondang. Raja Parlopukpun mereka persilahkan untuk mereka gondangi agar dia martonggo memohon turun hujan. Tetapi hujan tidak turun-turun juga. Mulanya Ompu Pulo Batu tidak bersedia mereka gondangi karena merasa bahwa abangnya itu telah sebagai raja pengganti ayahnya. Akhirnya Ompu Pulo Batu bersedia karena melihat penderitaan yang diderita masyarakat Si Onom Ompu. Setelah melaksanakan upacara seperti yang biasa dilakukan, Ompu Pulobatu berhasil mendatangkan hujan. Ompu Pulo Batupun dinobatkan menjadi Raja Si Singamangaraja XII pada tahun 1871. Ompu Pulo Batu lahir tahun 1848 dari ibunya boru Situmorang. Pada saat pemuda, Ompu Pulo Batu merantau ke Aceh, disana bergaul dengan pedagang dari Persia dan belajar banyak hal. Karena itu ketika perang melawan Belanda, Raja Si Singamangaraja XII dibantu oleh pejuang-pejuang dari Aceh, Dan dalam cap/stempelnya dipakai Bahasa Arab dan Bahasa Batak. Pada tahun 1877 Raja Si Singamangaraja XII menyatakan perang kepada Belanda. Kemudian dia menjalankan perang terhadap Belanda selama 3 dasawarsa.

Jumat, 02 Desember 2011

Pangandaran



Sebuah nama yang kita ingat hanya sebuah pantai dan laut, memang yang secara geografi lokasi tersebut di pesisir. Desa Pananjung Pangandaran pada awalnya dibuka dan ditempati oleh para nelayan dari Suku Sunda. Para pendatang lebih memilih daerah Pangandaran untuk menjadi tempat tinggal karena gelombang laut yang kecil membuat mereka mudah untuk mencari ikan. Pantai Pangandaran memiliki sebuah daratan yang menjorok ke laut dan sekarang menjadi cagar alam atau hutan lindung, dan tanjung inilah yang menghambat atau menghalangi gelombang besar untuk sampai ke pantai.  Para nelayan menjadikan pantai pangandaran sebagai tempat untuk menyimpan perahu yang dalam bahasa sundanya disebut andar. Beberapa waktu kemudian para pendatang banyak bersandar ke tempat ini dan menetap sehingga menjadi sebuah perkampungan yang disebut Pangandaran. Pangandaran berasal dari dua buah kata pangan dan daran, pangan berarti makanan dan daran maknanya pendatang. Pangandaran dapat diartikan sebagai sumber makanan para pendatang. Sesepuh terdahulu memberi nama desa dengan kata 'Pananjung', karena di daerah itu terdapat tanjung dan banyak sekali terdapat daerah keramat di beberapa tempat. Pananjung berasal dari kata dalam bahasa Sunda 'pangnanjung-nanjungna' (paling subur atau paling makmur).



Pananjung pada mulanya merupakan salah satu pusat kerajaan, sejaman dengan kerajaan Galuh Pangauban yang berpusat di Putrapinggan sekitar abad XIV M, yaitu pada masa setelah munculnya kerajaan Pajajaran di Pakuan Bogor. Nama raja Kerajaan Pananjung adalah Prabu Anggalarang yang disebut dalam salah satu versi kisah sejarah sebagai keturunan Prabu Haur Kuning, raja pertama kerajaan Galuh Pangauban. Kerajaan Pananjung sayangnya hancur diserang oleh para Bajo (Bajak Laut) karena tidak bersedia menjual hasil bumi kepada mereka. Penolakan Kerajaan Pananjung ini disebabkan pada saat itu situasi rakyat sedang dalam keadaan paceklik (gagal panen). Penjajah Belanda melalui Y. Everen (Residen Priangan) menjadikan Pananjung sebagai taman baru pada tahun 1922. Waktu itu terjadi penambahan 'penghuni' taman dengan dilepaskannya seekor banteng jantan, tiga ekor sapi betina dan beberapa ekor rusa. Pananjung dijadikan suaka alam dan marga satwa pada tahun 1934, dengan luas 530 Ha. Penetapan ini berdasarkan alasan karena Panjanjung memiliki keanekaragaman satwa dan jenis–jenis tanaman langka, dan agar kelangsungan habitatnya dapat terjaga. Status Pananjung berubah menjadi cagar alam pada tahun 1961 setelah ditemukannya Bunga rafflesia padma. Sebagian kawasan Pananjung seluas 37,70 Ha dijadikan Taman Wisata pada tahun 1978, seiring dengan meningkatnya hubungan masyarakat dengan tempat rekreasi. Kawasan perairan di sekitarnya pada tahun 1990 dikukuhkan pula sebagai cagar alam laut (470,0 Ha), sehingga luas kawasan pelestarian alam seluruhnya menjadi 1000,0 Ha. Pengusahaan wisata TWA Pananjung Pangandaran pada perkembangan selanjutnya berdasarkan SK. Menteri Kehutanan No. 104/KPTS-II/1993 diserahkan dari Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam kepada Perum Perhutani dalam pengawasan Perum Perhutani Unit III Jawa Barat, Kesatuan Pemangkuan Hutan Ciamis, bagian Kemangkuan Hutan Pangandaran. 

Nama yang akan selalu indah...

Salam,

Sungai Durian, Kalimantan Selatan - 5 Agustus 2011


Saya mau bercerita sedikit tentang saya, saya baru mulai menulis sesuatu apa yang saya rasakan dan lihat lewat blog ini. Semoga dengan penulisan saya dalam blog ini dapat bermanfaat dan membuat rasa kemanusiaan kita terbangun. 

Instruksi dari pusat diberikan, yap dengan semangat saya berangkat Kamis malam dari Sungai Danau menuju Batulicin untuk bertemu dengan orang yang akan menunjukkan lokasi tambang perusahaannya. Cuaca cukup baik saat itu, rencananya malam itu saya bersama dengan “the specialist man” Pak Awaludin berangkat menuju Batulicin. 

Selama di perjalanan kami saling bercerita seputar hmmmm ya dunia kerja dan pengetahuan soal batubara, ada sesuatu yang unik dalam pribadi beliau. Beliau sangat low profile dan juga loyal terhadap perusahaan. Sepanjang perjalanan menuju batulicin saya banyak melihat sesuatu budaya unik daerah setempat, sampai kondisi lingkungan dan sosial yang mungkin saya bisa bilang “Texas Area”. 

Tiba di batulicin kami langsung mencari penginapan, dan beristirahat untuk esok hari menuju lokasi tambang yang katanya 2 jam perjalanan dari batulicin ke arah Kalimantan Timur. 

Jumat pagi kami langsung bertemu dengan orang yang menjadi penunjuk jalan ke lokasi, selama di perjalanan kami menemui pemandangan yang mengagumkan dimana jalan negara yang berbukit-bukit serta dikelilingi oleh gugusan bukit-bukit seperti para dewa-dewa. Struktur bukit-bukit tersebut seperti gugusan pulau Phie di Thailand. Mungkin dahulu kalanya daerah ini terkena erosi sehingga jalan raya yang kami lewati terkesan melewati suasana dimana kondisi jaman dahulu kala. 

Tiba di lokasi jalan raya yang ke arah tambang, kami harus menempuh perjalanan ke mulut tambang +/- 32 Km. Jalan hauling lokasi tambang bisa dibilang modern atau bagus karena dilapisi oleh clay stone. Selama di perjalanan saya melihat rumah penduduk yang berjarak sekitar 20 Km antara rumah penduduk lainnya, dan yang saya heran tidak ada fasilitas negara disekitar lokasi tersebut, dan kondisi perekonomian penduduk sekitar hanya dari Hutan. 

Miris dan berbeda dengan idealis saya sebagai seorang manusia melihat kondisi tersebut, padahal daerah mereka sebagai penghasil devisa negara akan tetapi mereka tidak dapat menikmati yang semestinya hak mereka mendapatkan fasilitas tersebut.


Merdeka Bung!!!!


Salam,